Tentang Hidup: Ironi, Tragedi dan Komedi

Terutama di zaman teknologi dan digital yang berkembang semakin pesat, kita mungkin kadang merasa seperti robot yang bergerak secara otomatis. Tiba - tiba sadar, tangan sudah menggenggam hanphone, tiba - tiba sadar, kita sudah ada dalam sebuah aplikasi atau platform, atau kadang - kadang sadar, bahwa tiba - tiba kita sudah menghabiskan berjam - jam dalam suatau tontonan video. Entah itu tik - tok, youtube, facebook atau yang lainnya.

Ilustrasi:pexels.com

Hal itu pula yang selama ini saya rasakan. Dan parahnya bukan saja terjadi dalam kaitannya dengan penggunaan gadget atau screening time yang panjang dan tanpa sadar itu. Tapi sudah merambah ke aspek kehidupan konvensional lain. 

Misalnya, saya kadang tidak sadar bahwa tiba - tiba sudah ada batang rokok menyala di mulut, yang padahal beberapa bulan lalu saya sudah meniatkan untuk tidak lagi menyentuh barang satu itu. 

Atau tiba - tiba saja saya sadar, saya sudah menghabiskan satu gelas es teh manis berukuran jumbo setelah makan. Padahal satu minggu yang lalu saya mengangguk - anggukan kepala tanda sepakat dengan postingan seorang teman bahwa gula merupakan salah satu penyebab banyaknya pasien yang mencuci darah. Dan saat itu saya berencana juga untuk mengkatakan tidak pada barang satu itu.

Tentu masih banyak lagi hal lain dalam kehidupan ini yang dilakukan tanpa sadar.

Kita seolah seperti robot yang bergerak secara otomatis, bukan atas perintah pikiran atau melakukanya dengan kesadaran.

Tapi meski demikian, toh tidak dapat dipungkiri juga sebetulnya bahwa kita pasti sesekali merenungi semua aktivitas dan kebiasaan tanpa sadar itu yang akhirnya membuat kita tidak bisa sepenuhnya menyalakan diri sendiri atau keaadan. 

Andaipun kita cari jawaban dengan bertanya misalnya: kenapa kita bisa seperti itu, melakukan segala sesuatu tanpa sadar dan secara otomatis, kita tidak akan menemukan jawaban. 

Dan saat kita berusaha keluar dari kondisi itu dengan mencoba mengajukan pertanyaan lain, misalnya bagaimana caranya agar apa yang kita lakukan sehari - hari benar - benar atas perintah pikiran dan dengan penuh kesadaran, untuk satu - dua tindakan mungkin iya, kita bisa melakukan sesuai yang diperintahkan oleh pikiran kita dan menjalankannya dengan penuh kesadaran. Tapi saya jamin, beberapa saat setelahnya, kita kembali jadi 'robot': bergerak secara otomatis dan beraktivitas tanpa sadar.

Di tempat kerja, saya dan seorang teman yang sama - sama menyadari hal ini bahkan sampai menjadikanya jokes:

Tiba - tiba sudah di meja ini lagi ya, Bung? 

Atau:

Tau - tau sudah hari senin saja ya, Om?

Tidak ada jawaban yang jelas untuk pertanyaan kenapa dan bagaimana. Namun satu hal yang mungkin bisa kita renungkan adalah bahwa

barangkali memang beginilah hidup. Ia merupakan gabungan antara ironi dan tragedi.

Misalnya kita kembali ke contoh ketika saya merokok. Saya sebetulnya tahu, bahwa kepulan asap yang selalu saya hirup lalu menguap (kadang juga dibikin bulatan - bulatan kecil lalu mebesar dan menghillang di udara) adalah bentuk cicilan untuk kesakitan yang akan saya terima di kemudian hari. Tapi toh saya lakukkan: dari satu batang, tiba - tiba sadar, sudah tinggal bungkus kosong. Dan meski tahu itu tidak baik, tapi tetap saya lakukan dan malah diikuti pembelaan- pembelaan kecil. Misalnya, ketika mulai menyabet satu batang dalam pikiran, saya berkata:

Ya udah sih, toh yang tidak merokok juga kena sakit, lalu apa bedanya?

Dari sesuatu yang ironis semacam itu, kita beralih ke tragedi --sesuatu yang terjadi begitu saja dan kadang terasa menyakitkan.

Misalnya, ketika kita bertanya tentang kenapa kita bisa ada di tempat kita sekarang? Apakah yang kita lakukan sekarang sesuatu yang pernah kita rencanakan? Kenapa kita bisa mengalami ini, mengalami itu? 

Dan jawaban nyata dari pertanyaan - pertanyaan di atas adalah bahwa kita kadang tidak tahu kenapa kita berada disini saat ini. Kita tidak pernah merencanakan akan bekerja seperti ini. Akan melakukan ini, melakukan itu. Akan mengalamai ini, mengalami itu dan lain sebagainya. 

Malah sebaliknya, kadang hal - hal yang pernah kita rencanakan, dulu pernah kita niatkan dan kita inginkan, tidak pernah terjadi dan tidak pernah dilakukan.

Maka barangkali benar kalau kita boleh simpulkan bahwa hidup ini tidak lebih dari kumpulan ironi dan tragedi - tragedi kecil. Dan bisa saja tragedi orang lain juga menentukan tragedi yang kita alami saat ini, besok atau nanti. Siapa yang menentukan? Tidak ada! Keduanya adalah bagian dari kehidupan. 

Salah satu quotes yang saya suka dari Paulo Coelho adalah bahwa di dunia ini

Ada hal - hal yang tidak perlu tipertanyakan, supaya kamu tidak melarikan diri dari takdirmu

Maka yang mungkin jadi kebijakan kita sekarang adalah, biarkan hidup itu berjalan apa adanya, tanpa perlu dipertanyakan semuanya, apalagi menyesali yang sudah terjadi. Juga tidak perlu cemas berlebihan akan masa depan.

Masa lalu biarlah berlalu, masa depan biarkan menjadi kejutan tak terduga --sedih atau senangnya. Dan masa sekarang? Ya biarkan berjalan sebagaimana adanya --bahkan meski menjalaninya tanpa melibatkan pikiran atau kesadaran. Irons? Ya, memang itulah pointnya, itulah hidup. 

Sesekali, di tengah ironi dan tragedi itu, tertawalah biar tema hidupnya semakin lengkap --antara ironi, tragedi dan komedi. Mari menertawakan kehidupan masing - masing!


2 komentar untuk "Tentang Hidup: Ironi, Tragedi dan Komedi"