Salah satu hal yang menjadi problematika sastrawan atau para penulis masa kini adalah kurangnya kepekaan atau niat untuk melahirkan karya - karya yang mengangkat tema tentang masalah sosial, politik, hukum atau masalah - masalah kemanusiaan lain yang lebih esensial, terutama di Indonesia kita yang tercinta ini.
Gambar sebagai pemanis. Ilustrasi: pexels.com
Saya sering mendengar pernyataan demikian, baik di dalam literatur kesusastraan atau webinar - webinar dan perkulihan yang membahas masalah atau topik terkait.
Dikatakan bahwa bagaimana para calon penulis atau bahkan yang sudah menjadi penulis sekarang tampak tidak terlalu peduli dengan isu - isu di sekitar mereka yang terkait fenomena sosial, keadaan politik, penyelenggraan hukum, atau kebijakan - kebijakan para pemimpin. Mayoritas karya sastra yang sekarang beredar adalah tentang "cinta - cintaan".
Singkatnya, sastrawan zaman sekarang dikatakan sebagai sastrawan yang hanya melahirkan karya - karya yang picisan, tidak banyak yang melahirkan karya - karya yang serius dan patut direnungkan yang membawa perubahan. Ada memang yang melahirkan karya sastra serius, tapi itu bisa dibilang sangat sedikit dan bisa dihitung dengan jari.
Di satu sisi saya setuju bahwa betul, kalau kita lihat bagaimana literatur - literatur sekarang yang beredar kebanyakan didominasi oleh karya - karya yang picisan dan tidak banyak mengandung sesuatau yang bisa dijadikan renungan layaknya yang kita temui di dalam karya - karya sastra serius sebagaimana yang dilahirkan oleh generasi penulis terdahulu.
Sebagai contoh, pada aplikasi KBM (Komunitas Belajar Menulis) kita akan melihat begitu banyak karya sastra. Mulai dari novel, cerpen hingga puisi, kebanyakan diisi oleh cerita - cerita tentang cinta dengan berbagai cabangnya. Padahal teknologi sebagai sarana literasi merupakan sesuatau yang sangat ramah terhadap generasi sekarang yang memang hidup di zaman digital. Dan alangkah baiknya jika karya - karya sastra itu seimbang antara bacaan yang serius dan yang hanya berfungsi sebagai pengisi waktu luang.
Akan tetapi (ada tapinya nih) disisi lain saya juga agak keberatan jika sepenuhnya demikian --sastrawan masa kini tidak mampu menemukan atau melahirkan sesuatu yang baru, yang bukan saja tentang karya yang mengangkat tema cinta -cintaan.
Kenapa saya bisa tidak sepenuhnya setuju? Karena kalau dipikir - pikir sebenarnya, dari dulu --sejak masa penjajahan atau mungkin sejak masa sebelum Indonesia masih bernama Nusantara sampai sekarang tidak ada yang berubah di dalam kehidupan bangsa dan negara kita. Baik itu dari segi sosial, politik ataupun penyelenggaran hukum.
Pramodya A. Toer boleh berkata:
Akan tetapi, jika saja sang penulis hebat ini masih hidup sekarang, saya sebagai perwakilan dari kita - kita yang juga mendambakan apa yang beliau dambakan dalam kenyataan, akan mengatakan bahwa ya beginilah yang terjadi dari dulu sampi sekarang.
Bahwa hukum di negeri ini masih tajam hanya pada satu sisi (biasanya yang mengarah ke bawah), keadaan politik carut marut, kelaparan dan kemiskinan belum terentaskan sepenuhnya, pemimpin masih semena - mena dengan program - programnya yang selalu menuai pro dan kontra, pendidikan masih belum menjangkau semua masyarakat, para buruh tidak semuanya mendapatkan jaminan dan kesejahteraan.
Dan kebebasan serta persamaan? Ya memang sudah merasakan kebebasan, tapi masih belum sepenuhnya, tidak semua dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Orang masih ada yang takut menyampaikan pendapat secara terus terang, masih takut menyampaikan apa yang menjadi kerseahan mereka, takut menjalankan ini dan itu dan lain sebagainya.
Pertanyaanya, apakah benar keindahan negeri yang diceritakan itu hanya ada dalam dongengan? Atau sebenarnya ada dalam kenyataan, tapi entah kapan terjadinya di negeri kita? Ya saya tidak tahu.
Jadi jika dikatakan bahwa para sastrawan belum mampu menemukan atau menciptakan karya - karya yang baru yang menyangkut kemanusiaan, kehidupan berbangsa dan bernegara, saya mengatakan bahwa tidak sepenuhnya betul.
Jangan - jangan para penulis dan saatrawan masa kini bukanya tidak mampu melahirkan karya - karya yang seperti diharapkan, tapi karena memang sebenarnya yang terjadi di negeri ini, dari dulu sampai sekarang (mungkin jika suatu saat nanti saya jadi seorang pujangga atau sastwana) problemnya ya masih itu - itu saja. Jadi mereka mungkin bosan karena toh negerinya tidak ada perubahan, kecuali bentuk hutan, laut dan perut buminya yang semakin hari, semakin memperihatinkan.

Posting Komentar untuk "Problematika Sastrawan Masa Kini"