Manusia adalah makhluk sosial. Dan karena makhluk sosial, ia selalu menghabiskan hari - harinya dengan berkomunikasi. Misalnya mengobrol dengan keluarga, berbincang dengan teman dan orang -orang terdekat atau terlibat dalam suatu pembicaraan dengan orang asing.
Terkait komunikasi dengan orang asing, kita mungkin pernah mengalami sebagaimana yang pernah saya alami berikut ini:
Ilustrasi:Pexels.com
Suatu ketika, saya terlibat dalam suatu wawancara dengan seorang ibu kepala sekolah. Hasil wawancra ini nantinya akan menentukan diterima atau tidaknya saya untuk magang pada sekolah yang ia pimpin.
Sambil membolak - balik kertas CV saya, beliau memulai wawancaranya dengan bertanya:
Kepala sekolah : "Mas Patrio, ya?".
Saya : "Betul, Ibu".
Kepala sekolah : " Sekarang semester berapa, Mas?".
Saya : "Sekarang sudah semester lima, Ibu".
Kepala sekolah : "Oh begitu,,baik...Kalau boleh tahu, Mas. Ehm,,kenapa memilih kuliah disana?".
Saya : "Ada dua alasan, Ibu. Pertama karena disana ada jurusan yang sesuai dengan minat saya. Lalu yang kedua, disana juga ada kelas malamnya, Ibu".
Kepala sekolah :" Oh,,berarti Mas Patrio kuliah malam?".
Saya :" Betul, Ibu. Jadi siangnya saya kerja, malamnya kuliah".
Kini ia membagi fokusnya pada laptop sambil terus bertanya dan memperjelas jawaban saya sebelumnya:
Kepala sekolah : "Oh..Siang kerja malam kuliah, gak tidur berarti, Mas?".
Saya :" Ya terkadang kalau ketiduran, kuliahnya kami lanjutkan dalam mimpi, Ibu".
Sejenak, fokusnya langsung kembali ke saya. Tatapan tajam dan melotot berdiri di atas kacamatanya yang hampir menyentuh permukaan hidung, ia berkata:
" Mas tolong keluar ya, magang di sekolah lain saja. Saya tidak sudih anak - anak didik saya di sekolah ini nanti halusinasi masal gara - gara Mas".
Bingung mau menempatkan dimana muka yang mendadak merah, perlahan saya berdiri sambil menjawab:
" Baik, Ibu. Terima kasih atas waktunya".
Sampai di luar ruangan, dengan sambil menggaruk telinga yang sebenarnya tidak gatal saya membatin:
"Duhh, Pat..Pat...Ketahui dulu tadi orangnya, punya selera humor apa kagak. Lah kamu main nyambar aja menjawab. Iya kali orangnya tampak serius tapi aslinya humoris. Nah ini kan ternyata enggak! Duh,...".
Seolah tidak mau kalah, batin saya yang lain menyelah membela dengan setiap kata yang diucapkan secara perlahan dengan bibir yang dimiringkan untuk setiap satu kata yang keluar.
"Tapi saya tidak bisa mengubah ke-autentikan saya hanya agar orang lain suka dengan saya!".
Yang lain itu menjawab:
"Fuc* you! Pikiran macam apa itu? Lihat sekarang, mungkin gara - gara pemikiranmu itu pula wawancara ini gagal. Masa depan yang harusnya cerah jadi runyam sekejap mata. Mampus kan kamu? Hadeh...".
Mendengar: Sebagai Salah Satu Teknik Terpenting Dalam Komunikasi.
OH SU HYANG, seorang pakar komunikasi Korea Selatan dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Itu Ada Seni-nya, mengungkapkan bahwa salah satu teknik terpenting dalam komunikasi adalah mendengar.
Agar dapat memahami dengan baik apa makna setiap kata atau bahkan tanda yang diucapkan seseorang dalam suatu pembicaraan, diperlukan suatu kepekaan. Dan untuk bisa peka, kita harus mendengarkan dengan teliti dan saksama lawan bicara kita.
Mendengarkan tidak hanya melibatkan telinga sebagai indera pendengar, tapi juga hati dan pikiran untuk dapat memproses dengan baik setiap kata yang kita dengar.
Dalam percakapan di atas saya bisa dibilang mendengar, tapi tidak melibatkan hati dan pikiran sepenuhnya pada saat pembicaraan berlangsung.
Saya salah menangkap maksud pertanyaan beliau : apakah karena siangnya kerja, malamnya kuliah jadi saya tidak bisa tidur? Saya berpikir itu adalah sebuah rangsangan pengundang humor, yang mungkin maksud beliau supaya situasi tidak tegang - tegang amat. Dan kebetulan sekali berhadapan dengan saya yang memiliki sense of humor yang mumpuni, jadi hanya dikasih sentuhan manis saja ruangan jadi cair, akrab penuh canda tawa. Ealah ternyata saya keliru.
Padahal, jika saja saya mampu melibatkan hati dan pikiran saat mendengar (bukan hanya telinga), maka mungkin saja pertanyaan itu mengandung maksud yang lebih dalam: apakah dengan rutinitas yang dobel produktif semacam itu, saya masih bisa mengatur waktu saya untuk tidur dan beristirahat atau tidak. Dan jika demikian maka saya bisa menjawab begini:
"Ya Ibu, perkuliahan biasanya dari jam enam sore sampai jam sepuluh malam. Untuk tugas - tugas biasanya saya kerjakan di akhir pekan karena banyak waktu senggang. Jadi tidak mengganggu rutinitas yang lain".
Dengan mengatakan seperti ini mungkin beliau berpikir bahwa saya memang bisa mengatur waktu dengan baik. Dan kemungkinan beliau akan menerima saya magang di tempatnya juga besar.
Atau kalau memang maksud beliau sama dengan yang saya tangkap, maka setidaknya saya bisa mengingat dan mengontrol bahwa sekarang situasi pembicaraannya adalah formal. Mana mungkin orang mengundang gelak tawa ditengah pembicaraan yang resmi. Kalau sukses mungkin bagus, tapi kalau tidak?
Ya tapi dari sini saya akhirnya belajar bahwa dalam pembicaraan, setiap kata pasti memiliki makna. Bahkan jeda sekalipun memiliki arti tertentu --misalnya untuk memperjelas makna ucapan atau agar audiens bisa mengolah informasi dengan baik.
Maka mari berkomunikasi dengan baik, tidak hanya melibatkan indera - indera yang terkait, tetapi juga hati, pikiran dan perasaan. Tidak hanya dengan keluarga atau orang terdekat tetapi kepada siapapun yang menjadi audiens kita dalam perjumpaan sehari - hari.

Posting Komentar untuk "Mendengarkan dengan Saksama Sebagai Salah Satu Kunci Komunikasi yang Efektif"