Sejarah Sastra, Periode Sastra, Gerakan Sastra dan Aliran Sastra Indonesia


Sebelum membaca artikel ini, alangkah lebih baik untuk membaca dulu artikel sebelumnya terkait:

Sejarah Sastra Sebagai Cabang Ilmu Sastra. Karena artikel ini adalah kelanjutan dari artikel tersebut.

Nah mari kita lanjutkan! Secara sederhana, sejarah sastra berarti cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa. ( Yudiono K.S dalam pengantar sejarah sastra:26). Dalam makalah ini berarti mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia dari masa ke masa termasuk juga gerakan dan aliran yang terkandung pada setiap karya sastra dalam setiap periode tersebut. Karya sastra itu antara lain novel, cerpen puisi, prosa dan lain – lain.

Periode sejarah sastra Indonesia memiliki perjalanan panjang dan lumayan rumit. Untuk lebih memahami dengan baik penulis mengambil salah satu sumber yang hemat penulis cukup jelas dalam menjelaskan periode sastra Indonesia. Berikut ini pembagian periode sejarah sastra Indonesia di kutip dari website data pokok kebahasaan dan kesastraan dalam artikel berjudul periodeisasi sastra.

Periodisasi merupakan pembabakan sejarah perkembangan kesusastraan menurut kriteria yang ditentukan oleh sudut pandang peneliti. Kriteria atau dasar penggolongan periodisasi itu bermacam-macam, misalnya berdasarkan masa penerbitan karya sastra, pertimbangan intrinsik karya sastra, pertimbangan ekstrinsik karya sastra, dan berdasarkan pada perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi zaman

Dikarenakan pembabakan sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia berdasarkan sudut pandang peneliti, maka kita akan menemukan beberapa versi pembabakan yang dikemukakan oleh masing – masing peneliti, jadi bukan hanya satu versi saja.

Pakar sastra yang telah membuat periodisasi sejarah sastra Indonesia, antara lain, adalah H.B. Jassin, Buyung Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, Ajip Rosidi, Zuber Usman, dan Rachmat Djoko Pradopo. Pada umumnya periodisasi mereka menunjukkan persamaan dalam garis besarnya. Akan tetapi, ada perbedaan kecil mengenai batas waktu setiap periode dan penekanan ciri-ciri yang ada setiap zaman.


Periodisasi sastra menurut H.B Jassin adalah

A. Sejarah Melayu Lama

B. Sastra Indonesia Modern

1. Angkatan 20

2. Angkatan 33 atau Pujangga Baru

3. Angkatan 45

4. Angkatan 66


Periodisasi sastra menurut Buyung Saleh adalah


  • Sebelum tahun 20-an

  • Antara tahun 20-an hingga tahun 1933
  • Tahun 1933 hinga Mei 1942
  • Mei 1942 hingga kini (1956)

Periodisasi model Buyung Saleh ini dibuat tahun 1956 dalam tulisannya “Perkembangan Kesusastraan Indonesia” (Almanak Seni 1957. Jakarta: Badan Musyawarah Kebudayaan). Ciri-ciri periode yang dibuat Buyung lebih menekankan segi sosialnya

Periodisasi sastra menurut Nugroho Notosusanto mengutip pada tulisannya berjudul “Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia”, Basis No.7 Th.XII, April 1963, halaman 199—210 dikemukakan periodesasi sebagai berikut

  • Sastra Melayu Lama
  • Sastra Indonesia Modern
  • Masa Kebangkitan (1920—1945)
  • Periode ‘20
  • Periode ‘30
  • Periode ‘42
  • Masa Perkembangan (1945—sampai sekarang)
  • Periode ‘45
  • Periode ‘50

Model periodisasi yang dibuat Nugroho Notosusanto ini mendasarkan model yang dibuat H.B. Jassin dan Buyung Saleh

Dalam buku yang ditulis Bakri Siregar berjudul Sejarah Sastra Indonesia Modern I (1964) dinyatakan bahwa periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut

  • Periode pertama sejak masa abad ke-20 sampai 1942
  • Periode kedua sejak 1942 sampai 1945
  • Peridode ketiga sejak 1945, masa revolusi bergolak sampai masa surutnya revolusi, 1950
  • Periode keempat dari 1950 hingga sekarang (1964)

Bakri Siregar tidak mengemukakan ciri-ciri intrinsik karya sastra pada setiap periode yang dibuat itu.

Dalam buku yang ditulis Ajip Rosidi berjudul Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969) dinyatakan bahwa periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut

Masa Kelahiran dan Masa Penjadian (1900—1945)

  •  Periode awal hingga 1933;
  •  Periode 1933—1942; dan
  •  Periode 1942—1945.
  • Masa Perkembangan (1945 hingga sekarang)
  •  Periode 1945—1953;
  •  Periode 1953—1961; dan
  •  Periode 1961 sampai sekarang (1969)

Ajip Rosidi membedakan ciri-ciri intrinsik tiap-tiap periode berdasarkan perbedaan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi tiap-tiap zaman.

Dalam buku yang ditulis Zuber Usman berjudul Kesusastraan Baru Indonesia (1956) dinyatakan periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut

Zuber Usman menggunakan kriteria ekstrinsik dalam membuat periodisasinya karena nama Balai Pustaka, Pujangga Baru, Jepang, dan Angkatan 45 adalah nama-nama di luar sastra. Nama-nama badan penerbit Balai Pustaka, gerakan kebudayaan atau nama majalah kebudayaan Pujangga Baru, penjajahan Jepang, dan generasi pejuang kemerdekaan Angkatan 45 dianggap Zuber Usman telah mempengaruhi perkembangan karya sastra.

Dalam tulisan Rachmat Djoko Pradopo di harian Berita Buana berjudul “Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia” (tanggal 2, 9, 16, 23, 30 September dan 7 Oktober 1986) dinyatakan “gambaran sesungguhnya periode-periode sejarah sastra Indonesia tertumpang tindih” sebagai berikut

  • Periode Balai Pustaka: 1920—1940
  • Periode Pujangga Baru: 1930—1945
  • Periode Angkatan 45: 1940—1955
  • Periode Angkatan 1950: 1950—1970
  • Periode Angkatan 1970: 1970—sekarang (1986)
  • Rachmat Djoko Pradopo memberikan ciri-ciri tiap-tiap periode berdasarkan kriteria instrinsik. Istilah yang digunakan Pradopo untuk menandai periode itu adalah (a) ciri-ciri struktur estetik, dan (b) cirri-ciri ekstra estetik.

Berdasarkan dari periodisasi tersebut, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara periodisasi yang satu dan yang lain. Kesemuanya memulai perkembangan sastra Indonesia Modern sejak tahun 20-an. Kesemuanya menempatkan tahun ’30, tahun ’45 dan tahun ’66 sebagai tonggak-tonggak penting dalam perkembangan sastra. Perbedaan hanya berkisar pada masalah istilah dan masalah peranan tahun 1942 dan tahun 1950 di dalam perkembangan Sastra Indonesia

Setiap periode dalam sejarah sastra Indonesia tidak hanya ditandai oleh pergantian waktu dan tokoh, tetapi juga oleh munculnya berbagai aliran dan gerakan sastra yang mencerminkan dinamika pemikiran serta perubahan sosial-politik pada zamannya. Misalnya, pada periode Balai Pustaka (1920-an), karya-karya yang lahir cenderung mengusung aliran didaktik moralistik dengan tema pendidikan, adat-istiadat, dan kesopanan, karena kontrol ketat dari pemerintah kolonial Belanda. Gerakan sastra saat itu belum berkembang secara bebas karena adanya pembatasan tema dan bahasa yang boleh digunakan, sehingga banyak sastrawan yang menulis dalam kerangka kepentingan pemerintah kolonial.

Memasuki periode Pujangga Baru (1930–1942), muncul gerakan sastra yang lebih nasionalis dan idealis. Aliran yang mendominasi adalah romantisme, yang tampak dalam puisi dan prosa yang mengagungkan keindahan, kebangsaan, dan semangat individualisme. Tokoh-tokoh seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah mendorong pembaruan bahasa dan bentuk karya sastra. Sementara itu, masa pendudukan Jepang (1942–1945) menandai pergeseran ideologi dalam sastra. Gerakan sastra bergeser menjadi alat propaganda, dan aliran realisme sosial mulai tampak, meskipun dibatasi oleh sensor militer Jepang.

Periode berikutnya, yaitu Angkatan 45, menjadi masa yang sangat penting karena lahirnya karya-karya yang berpijak pada realisme, eksistensialisme, dan semangat revolusi. Gerakan sastra pada masa ini sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan sosial pasca-kemerdekaan, sehingga karya-karya Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani mencerminkan semangat merdeka, pemberontakan terhadap nilai lama, serta kebebasan dalam ekspresi individual. Pada Angkatan 66, aliran realisme kritis dan sastra kontekstual menjadi dominan. Gerakan ini erat kaitannya dengan perubahan politik pasca-G30S/PKI, dan karya-karya sastrawan seperti Taufiq Ismail dan WS Rendra banyak mengangkat tema ketidakadilan sosial, perjuangan rakyat kecil, dan kritik terhadap kekuasaan.

Memasuki periode 1970-an hingga 1990-an, muncul berbagai aliran dan gerakan sastra yang lebih beragam, seperti sastra metafisik, surealisme, hingga sastra pop dan puisi mbeling. Gerakan sastra pada masa ini cenderung bersifat eksperimental, bebas, dan membuka ruang bagi kritik sosial serta ekspresi personal. 

Di sisi lain, pada masa Orde Baru, sensor dan tekanan politik menyebabkan beberapa gerakan sastra bawah tanah muncul sebagai bentuk perlawanan. Periode setelahnya, yakni era reformasi dan pasca-reformasi, menandai lahirnya sastra urban, sastra perempuan, serta sastra digital yang semakin memperluas ranah dan bentuk ekspresi sastra Indonesia.


Refferensi Kajian:

1. Suarta, I Made. Pengantar Bahasa dan Sastra Indonesia. Bali: Pustaka Larasan,2022.
2. Yudiono Ks. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Diakses melalui google book.

3. https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-sastra/?srsltid=AfmBOopQPdjArOOzVJRNQOB-fOEk-X4VK0Pg7MOBOjWiwr8vFeD1lIKb#google_vignette. Diakses jumat, 17 Oktober 2025.

4.https://www.indonesiana.id/read/103451/sastra-susastra-kesastraan-dan-kesusastraan-apa-bedanya. Diakses jumat, 17 Oktober 2025.

5. https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-sastra/?srsltid=AfmBOopQOFPLse5M21_BEpLzbj54MWD3UWincYn14sBQzTAnXK8bfZM1. Diakses sabtu, 18 Oktober 2025.

6. Umar, Azhar. SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN BAHASA INDONESIA BAB VI MENGAPRESIASI KARYA SASTR INDONESIA. Kemdikbud, 2017. ( https://share.google/urR3zazVMC4rCAVMR. Diakses Sabtu, 19 Oktober 2025.

7.Sumber: Kemendikdasmen https://share.google/Z7q10wXF3jsZbLFr7

Sumber Ilustrasi:
https://pin.it/3SAmXchCP

Posting Komentar untuk "Sejarah Sastra, Periode Sastra, Gerakan Sastra dan Aliran Sastra Indonesia"