1. 1. Perjumpaan dengan Pak Gendro dan Perjalanan yang Melelahkan.
“Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Matius 18:20
Perjumpaan saya dengan Pak Gendro sendiri sebenarnya terjadi begitu saja. Sudah tiga tahun kami menghuni satu kos – kosan yang sama. Dan entah karena telah mengetahui latarbelakangnya yang adalah seorang mantan seminaris, sesuatu dalam diri ini tergerak untuk lebih akrab dengannya. Tidak lain karena saya ingin menggali dan mensharing hal – hal bermanfaat seputar pengalaman dan perjalanan iman bersama beliau. Maka mulailah kami menghabiskan waktu senggang dengan menceritakan banyak hal: mulai dari pengalaman sehari -hari sampai dengan pengalaman -pengalaman masa lalu.
Hingga suatu ketika Pak Gendro bercerita tentang pengalamannya dua puluh tahun yang lalu. Dimana ketika itu ia masihlah seorang seminaris tingkat empat yang mendapat tugas di stasi Sumberarum, Wlingi, Blitar Jawa Timur. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengiyakan ketika beliau mengajak saya untuk berkunjung kesana, khususnya ke keluarga Mbah Mangun yang menjadi salah satu tokoh perintis kehidupan kristiani di Stasi ini.
Sebenarnya, ada sedikit keraguan dalam diri saya untuk menerima ajakan itu, mengingat sudah begitu lama Pak Gendro berpisah dengan mereka. Bagi saya, dua puluh tahun yang telah lewat merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk bisa dilupakan. Belum lagi kami tidak tahu penyambutan seperti apa yang akan kami terima, mengingat kunjungan ini bukan diinisiasi oleh seseorang yang dalam bayangan mereka mungkin sudah menjadi seorang Imam yang entah tugas dimana. Tapi dengan semangat yang membara, Pak Gendro meyakinkan saya bahwa semuanya akan berjalan baik – baik saja.
“Kamu tuh, jangan kalah sebelum bertarung, Pat," ucapnya meyakinkan saya.
“Gagal jadi Imam, misonaris awam adalah jalan ninjaku,” timpal saya seraya bercanda. Ya kami memang kerap membawa obrolan kami dengan penuh canda tawa, tanpa berniat mengaburkan masing – masing esensi yang terkandung di dalamnya.
Maka dengan semangat “...di mana dua atau tiga orang berkumpul atas nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka,” saya memutuskan untuk mengajak dua orang sahabat lainnya lagi. Dan dengan persiapan yang seadanya, kami berangkat dan memberi nama perjalanan kami sebagai touring rohani. Touring, karena kami memang menempuh perjalanan ini menggunakan sepeda motor, rohani karena ada niat terselubung: mengetahui kehidupan iman para umat di daerah terpencil yang sudah lama ditinggalkan.
“Sungguh misi yang cukup mulia,” canda saya lagi pada Pak Gendro di pintu gerbang kos sesaat sebelum berangkat. Dan lagi, beliau tersenyum sambil mengepulkan asap dari rokok di mulutnya. Tidak berselang lama, dua jari kananya mengapit batang rokok yang sedang menyala itu, menariknya dalam – dalam dan menambahkan :
“Kan untuk menjadi Nabi, Imam dan Raja, tidak harus hidup selibat dan ditahbiskan, Pat. Tapi meski begitu kita semua toh tetap dipanggil untuk misi yang sama.” Saya hanya mampu membalasnya dengan tersenyum, sebuah ekspresi yang membungkus ketidakberdayaan saya sendiri melihat kedigdayaan semangat pewartaan yang masih menyala – nyala dalam diri seorang Pak Gendro. Selama ini saya bahkan jarang aktif di Gereja. Dan kini saya bingung apa yang bisa saya wartakan? Terutama lagi dalam perjalanan kali ini, cerita apa yang akan saya bagikan pada keluarga yang kami kunjungi ini?
“Ah, Tuhan, sendainya Engkau memberitahu diawal bahwa saya akan mengalami perjumpaan seperti ini, saya tentu sudah menyiapkan diri.” Dengan penyesalan yang mendalam, saya menyerahkan semuanya pada Pak Gendro untuk memimpin dan memandu perjalanan ini. Saya hanya bisa mengekor dari belakang.
***
Waktu kira – kira sudah menunjukkan pukul 15:00. Dan setelah menempuh perjalanan sekitar enam jam lamanya, tibalah kami di sebuah jembatan. Tepat di bawahnya, mengalir sebuah sungai yang dari cerita orang – orang setempat, sungai ini bernama sungai Soso. Sebuah sungai yang bermuara dari hulu sampai ke ujung selatan cakrawala. Dan sejauh mata memandang, sungai ini dapat diperkirakan sebagai sumber kehidupan berbagai jenis tanaman yang hidup di ladang – ladang desa ini. Mulai dari jagung, kacang – kacangan, tebu hingga sawah yang saat kami melintas sedang memamerkan pesona kehijauan yang sangat subur.
Sementara kendaraan kami terus melaju, wajah – wajah berjalan kaki yang memanggul pacul dan bertopi bulat berkerucut ikut serta mewarnai pemandangan desa sore itu. Disisi lain langit masih saja menggantungkan begitu banyak awan yang menghitam. Rupanya ia masih ingin menurunkan hujan lebih banyak lagi dengan cara perlahan – lahan.
“Mungkin maksudnya, biar awet,” ketus saya dalam hati. Ya, hampir setengah perjalanan dari Surabaya, hujan sedang sudah mengguyuri setiap jengkal jalanan yang kami tempuh.
“Dulu belum seperti ini jembatannya, Pat. Warga hanya melentangkan beberapa potong bambu beserta pegangannya untuk menyeberangi sungai ini. Ya saya kadang – kadang ikut bersama umat ke pasar." Pak Gendro membuka kembali percakapan setelah beberapa jam membisu karena kami fokus pada kendaraan masing – masing.
“Oh, jadi ikut ke pasar juga, Pak Gen?” Tanya saya semakin penasaran.
“Bukan hanya ke pasarnya, Pat. Tapi kadang ke ladang juga. Intinya kita benar – benar berbaur dan sebisa mungkin merasakan pengalaman keseharian mereka. Jadi memang harus menyatu dengan kehidupan umat gitu loh, Pat. Baik kehidupan rohani, maupun keseharian mereka yang lain, karena itu nanti yang akan kita refleksikan di seminari,” Pak Gendro semakin memperjelas rasa keingintahuan saya.
Dengan melintasi jembatan megah berbeton, kami menurunkan kecepatan kendaraan. Sekitar lima belas menit lagi dari sini, kami akan tiba di stasi tempat tujuan kami –Stasi Sumberarum, Wlingi, Blitar, Jawa Timur.
***
Bisa dibilang, sungai Soso tadi adalah tempat terakhir kami menikmati jalanan beraspal yang mulus, yang memanjakan tubuh kami di atas kendaraan. Medan berikutnya akan kami tempuh melewati jalur yang ekstrim : jalanan stapak yang mendaki dan berkelok – kelok, yang disana – sini berlubang dan meninggalkan bebatuan kecil dan kerikil – kerikil tajam. Ini menjadikan kandaran yang sama, yang tadinya memanjakan badan kami, kini balik menghempaskan tubuh kami kian kemari, oleng ke kiri dan ke kanan. Juga sesekali memaksa jari – jari kami menarik dan melepaskan kopling secepat kilat lalu diikuti telapak kaki yang bergerak maju – mundur sedemikian rupa memindahkan persneling ke gigi satu, lalu ke gigi dua dan kembali lagi ke satu. Tapi meski demikian: di antara pergerakan tubuh dan badan yang melelahkan , medan yang ekstrim dan menantang, ada gelora yang tetap membara dalam dada: rasa penasaran untuk segera menjumpai keluarga Mbah Mangun. Sebuah kerinduan iman yang saya yakin terutama dirasakan dengan sangat oleh Pak Gendro yang memang telah menjalin ikatan batin dengan mereka meski sudah berpisah dua puluh tahun lamanya.
2. Stasi Sumberarum dan Pengaruh Keluarga Mbah Mangun Terhadap Kehidupan Umat.
Desa itu terletak di bawah kaki gunung Kawi, lebih tepatnya di sisi bagian timur Kabupaten Blitar. Meski masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Blitar, jarak dari desa ini ke kota Blitar sendiri masih cukup jauh. Di belakang rumah warga, pohon kelapa tumbuh menjulang dengan berbagai tanaman lain di bawahnya: kopi, cokelat, pisang dan beberapa tanaman khas desa pegunungan.
Selepas hujan seperti ini, jangan mengharapkan adanya keramaian dan hiruk pikuk layaknya yang kita temui di kota besar. Bising kendaraan, suara - suara mesin yang memekakakn telinga atau teriakan kasar tukang parkir yang galak bahkan tak mampu diredam oleh hujan. Di desa seperti ini, pengalaman yang demikian itu hanya akan menjadi sebuah anomali jika memang harus terjadi. Jalanan stapak yang kecil, lengang hanya dihiasi rintikan hujan dan butiran air yang jatuh dari daun pepohonan yang tumbuh di sekitar jalan. Suara – suara yang terdengar hanya keluar dari mulut - mulut jangkrik yang tengah memainkan irama pertanda hari semakin sore. Sementara itu langit seolah tidak mau ketinggalan, perlahan - lahan menggulung cahayanya yang sejak siang tadi memang sudah muram kehitaman.
Tepat di desa inilah sebuah kapel menyambut kedatangan kami sore itu. Berdiri megah di atas sebidang tanah yang tidak terlalu luas, kapel ini cukup untuk menampung umat yang saat ini berjumlah sekitar 17 KK. Pada sebuah papan kecil di bagian depan, terpampang sebuah tulisan yang siap menyambut semua orang: Gereja St. Markus Stasi Sumberarum Blitar. Sebuah nama yang diambil dari nama desanya itu sendiri, desa Sumberarum.
Dokumen Penulis
Untuk melengkapi informasi yang dicicipkan Pak Gendro pada kami, saya menelusuri beberapa sumber dan menemukan beberapa kecocokan: Stasi Sumberarum dirintis pertama kali oleh Rm. Lugano, Pr. dengan beberapa tokoh umat yang berpartisipasi pada awal perintisannya antara lain Bapak Mangunsari ( Mbah Mangun ), Bapak Wiryo Rejo, Bapak Ngaterman dan Bapak Sodinomo. Adapun pelajaran agama untuk pertama kalinya oleh Rm. Lugano dilaksanakan di rumah Bapak Karyanomo. Dan jauh sebelum gereja yang tampak megah di depan kami ini berdiri, peribadatan dan kegiatan umat di stasi ini dulunya dilaksanakan di rumah umat yang bersedia menjadikan rumahnya tempat beribadat umat sementara. Hingga pada tahun 2004, gereja Sumberarum berhasil direnovasi atas bantuan Ibu Thersia Budiraman dari Surabaya¹.
Setelah menemui Mas Misri yang rumahnya berdiri tidak jauh dari gereja atau kapel ini, kami langsung diarahkan menuju ke rumah Mbah Mangun. Dulu saat Pak Gendro masih bertugas di stasi ini, Mas Misri memang masih tinggal satu rumah dengan Mbah Mangun, yang merupakan ayahnya. Namun karena sudah berkeluarga, beliaupun tinggal dan menetap di rumahnya sendiri.
***
Menempuh perjalanan yang jauh, ditemani hujan yang mengguyur hingga medan ekstrim yang melelahkan, akhirnya kami tiba juga di tempat terakhir yang merupakan tujuan utama kami, yakni rumah dan keluarga Mbah Mangun. Beliau inilah salah satu sosok kunci terutama saat gereja pertama kali merintis kehidupan iman Katolik di stasi ini. Dan terutama bagi Pak Gendro, beliau dan keluarga sangat membantu ketika dulu ia masih menjalani tugas sebagai seorang seminaris. Namun sayang, saat berjumpa dengan Mas Misri di rumahnya tadi, Pak Gendro mendapat kabar bahwa Mbah Mangun telah tiada sejak enam tahun silam. Beliau telah menutup usia pada tahun 2019. Tinggallah anak – anak dan keluarga yang ditinggalkan yang bisa menyambut kedatangan kami.
Datang sebagai tamu yang tidak diundang, juga tidak memberi kabar bahwa kami akan datang berkunjung, membuat degupan jantung saya berdebar tidak karuan. Ditambah lagi kami bukan rombongan yang datang atas nama gereja seperti OMK, REKAT atau kelompok paguyuban tertentu yang dari informasi yang kami terima memang kerap mengadakan live in di stasi ini. Dan ditambah lagi sebagaimana ketakutan awal saya, kami dipimpin oleh Pak Gendro, seseorang yang dalam bayangan mereka sudah menjadi seorang Imam atau mungkin sudah menjadi Uskup di suatu tempat. Namun suara hati saya dikuatkan oleh keyakinan akan maksud kedatangan kami. Juga suara Pak Gendro yang kembali terngiang – ngiang dalam kepala:
“Menjadi Nabi, Imam dan Raja tugas semua orang kok.”
Maka kami pun memantapkan langkah menuju rumah Mbah Mangun, seorang sesepuh yang telah ikut serta dalam perintisan kehidupan kristiani di stasi ini. Juga secara khusus rumahnya pernah menjadi tempat tinggal Pak Gendro selama masa bertugas kala masih menjadi seorang seminaris dulu.
***
Apa yang menjadi ketakutan saya saat pertama menerim ajakan Pak Gendro, ternyata tinggal ketakutan saja, alias tidak menjadi kenyataan. Semuanya dibantah oleh fakta bahwa kedatangan kami disambut dengan sangat ramah oleh keluarga Mbah Mangun. Itu tampak bahkan ketika kami masih 15 meter dari pintu rumah, mereka sudah menunggu dengan sangat antusias karena memang Mas Misri yang menggiring kami sejak dari kapel tadi, mendahului untuk meberitahu mereka. Dan alangkah legahnya hati saya menyaksikan senyum sumringah dari wajah keluarga yang menyambut kami ini: dari Mas Sutiono, Mbak Sutrimen dan Istri Mbah Mangun.
Setelah mengucapkan beberapa kata belasungkawa, Pak Gendro lalu memuaskan diri dalam mengenang kembali pengalamannya yang dua puluh tahun lalu. Mulai dari bangunan rumah yang ia rasakan sudah berubah, hingga pemandangan di sekitar : pohon kelapa yang dulu biasa dipanjat Mas Sutiono untuk melegakan dahaga mereka di siang bolong, bak mandi yang yang dulu dikhususkan untuk Pak Gendro dan kini sudah tidak ada, hingga jalanan kecil yang dipakai menuju ke kapel yang sekarang sudah dipenuhui pohon kopi dan cokelat.
"Sudah ditutup, Pak. Sekarang sudah bisa lewat jalan umum kalau ke gereja," jelas Mas Sutiono melihat ekspresi heran yang tampak pada wajah Pak Gendro.
Puas bernostalgia dengan suasana dan kondisi yang semua tampak sudah berubah, saya dan Pak Gendro akhirnya masuk ke dalam rumah. Dua teman kami sudah duduk manis di ruang tamu. Rupanya mereka sudah masuk saat dipersilahkan untuk yang pertama kalinya oleh keluarga Mbah Mangun. Dengan hidangan kopi hangat yang masih menguap di atas meja, kami mulai bercerita dan sharing pengalaman kami masing - masing.
Edo, seorang rekan kami terlihat sedang mengepulkan asap dari sela - sela bibirnya. Belum sempat saya ucapkan candaan biasa kepadanya, ia langsung memotong seolah sudah hafal reaksi yang akan saya berikan ketika melihatnya merokok:"biar percakapan kita semakin hangat." Maka jadilah candaan itu saya pendam di dalam hati : Ah, semakin aktif saja dia sekarang rokoknya!
Hingga ketika malam tiba, setelah menikmati santapan malam yang dihidangkan Mbak Sutrimen, kami masih melanjutkan sharing iman. Meski Mbah Mangun sendiri sudah tidak ada, tapi kami masih bisa mendapatkan beberapa detail tentang kehidupan iman para umat disini. Tentang umat yang sebagaian besar memiliki ikatan keluarga, baik kelarga jauh maupun keluarga dekat, tentang kakek Mbah Mangun yang pernah mempersembahkan sebidang tanah untuk di atasnya dibangun gereja, hingga cerita tentang beberapa umat yang harus "hijrah" karena berbagai faktor: pernikahan, karena pergi merantau ke luar daerah dan disana menemukan pasangan yang berbeda keyakinan.
Adapun tantangan yang lain adalah tentang kesulitan dalam membina anak - anak muda (BIAK, REKAT dan OMK). Selain karena terbatasnya jumlah umat dan muda - mudi katolik, juga karena tidak adanya panitia atau pengurus yang memandu dan merancang setiap kegiatan yang akan diadakan. Jarak paroki yang tidak kurang 10 kilo meter dari stasi ini, juga turut melengkapi beberapa tantangan yang sudah ada.
Disamping itu, kekurangan Imam turut menjadi cerita minor tersendiri. Ini mengharuskan umat hanya bisa meryakan ekaristi hanya sekali dalam sebulan. Kalau beruntung, bisa dua kali, tapi yang sering terjadi hanya satu kali dalam sebulan, sisanya hanya ibadat sabda yang dipimpin asisten Imam. Padahal antusiasme umat terbilang cukup tinggi. Itu tampak ketika kami datang, salah seorang umat yang hendak kami kunjungi rumahnya ternyata masih harus menyibukan diri di gereja yakni sedang menyiapkan koor untuk masa adven. Baru setelah itu kami berkesempatan sharing dengan beliau yang juga menyelipkan cerita - cerita minor lain terutama tentang lagu liturgi yang menurtnya itu - itu saja karena harus menyesuaikan dengan kemampuan para umat. Beliau juga mengeluhkan tidak adanya pemain musik atau organis yang bisa menghidupi koor dan nyanyian liturgi.
3. Refleksi Iman dan Catatan Pribadi.
Saya terlahir di Flores, sebuah daerah yang beberapa kotanya kerap dijuluki negeri seribu gereja. Bagaimana tidak, hampir setiap dua – tiga kilo, kita akan menemui gedung – gedung gereja yang berdiri megah. Baik yang berupa kapel atau gereja stasi, maupun gereja paroki. Bahkan rumah saya sendiri diapit oleh tiga buah gereja: gereja stasi Bealaing yang jaraknya hanya dua kilo meter dari rumah, gereja stasi Lame yang berjarak tiga kilo dan gereja Paroki St. Paulus Mano yang hanya berjarak 500 meter. Maka kalau ingin mengikuti misa atau perayaan ekaristi, tinggal melangkah satu sampai dua langkah saja, sudah sampai di gereja.
Akan tetapi, meskipun hidup dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas Kristiani dan ditempa dalam keluarga Katolik yang cukup taat, tidak lantas membuat saya tumbuh dan dewasa dalam iman yang kuat. Kemudahan akses ke gereja, ketersediaan pelayanan yang terbuka untuk setiap orang, justru kadang menjadi suatu beban tersendiri bagi saya. Lonceng gereja yang tiap jam enam pagi berdentang lalu diikuti lantunan doa Angelus, tak pelak merupakan sebuah gangguan terhadap tidur saya yang pada jam segitu masih berada di penghujung mimpi. Pun demikian ketika dulu di paroki ada kegiatan sekolah minggu, tidak sekalipun saya ikut. Kalaupun ikut, itu karena saya takut besoknya mendapatkan cap merah memanjang berbentuk rotan di betis. Ya, sesekali guru agama SD akan mengecek dan memberi hukuman bagi siswa yang tidak ikut pembinaan sekolah minggu di gereja.
Dan ketika saya melanjutkan pendidikan di Surabaya, juga sama saja. Asrama tempat saya tinggal tidak lebih dari lima puluh meter dari gereja. Setiap minggu ada kegiatan pembinaan iman untuk muda – mudi (dari REKAT hingga OMK). Mulai dari perayaan misa minggu dan beberapa kegiatan muda – mudi yang saya ikuti, beberapa di antaranya di dorong oleh ketakutan terhadap pembina asrama dan alasan formalitas belaka.
Hingga akhirnya ketika sesuatu membawa saya kesini, di stasi Sumberarum, Blitar ini, saya mendapati bahwa apa yang dulu ditawarkan kepada saya: dari ketersediaan gereja yang melimpah hingga akses terhadap perayaan misa dan pembinaan iman yang tidak terbatas merupakan suatu kerinduan bagi setiap umat di stasi kecil ini. Lonceng gereja yang dulu saya anggap sebagai beban pengganggu kenyamanan, disini merupakan suatu dambaan yang tak terkira. Perayaan ekaristi setiap minggu yang jarang saya hadiri karena berbagai alasan yang dibuat – buat, disini terasa seperti tetesan hujan di musim kemarau yang selalu dinanti – nantikan oleh segenap umat.
Oh Tuhan! Tak sanggup lagi hati ini menerima semua penghakiman atas kelalaian, keengganan dan kemalasan yang begitu banyak yang telah saya perbuat di masa lalu. Satu – satunya penghakiman dan tuduhan yang bisa saya bantah sekarang adalah keluhan umat akan keterbatasan Imam di stasi ini. Ya untuk yang ini, saya masih bisa membela diri bahwa saya memang tidak pernah dipanggil untuk itu. Ah, rupanya pembelaan yang sia – sia juga: tidak dipanggil atau memang saya yang tidak mau mendengar? Entahlah!
***
Tidak terasa malam sudah semakin larut. Cahaya bulan di langit seolah tak mampu menembus awan tebal yang masih membubung di bawahnya. Juga sinar lampu yang dipasang di teras rumah, pun tidak mampu menjangkau jarak yang jauh. Jadilah halaman dan pekarangan sekitar rumah Mbah Mangun hanya menerima penerangan yang redup. Tak kalah redup dengan kehidupan rohani dan pertumbuhan iman yang saya jalani selama ini.
Sementara itu angin malam mulai terasa menusuk – nusuk menembus jaket yang saya kenakan. Suara – suara jangkrik seperti yang saya dengar di kapel tadi sore, semakin memperjelas nyanyian mereka, berirama bersama bunyi – bunyian daun kelapa di atas sana yang ditiupkan angin malam. Dari jarak yang tidak berjauhan, sesekali saya mendengar bunyi gedebuk dengan kerasnya. Sesuatu mungkin jatuh dengan sangat kuat di atas permukaan tanah setelah sepersekian detik menyambar daun – daun pepohonan yang lain.
“Iya mas, itu bunyi kelapa kering yang jatuh. Saya sudah jarang mengurusi buah – buahnya. Harga tidak seberapa, risikonya sangat besar. Ya kami biarkan mengering dan jatuh sendiri.” Mas Sutiono membangunkan saya dari lamunan malam itu. Ah, apa pula maksudnya dibiarkan mengering dan jatuh sendiri ini? Semoga maksudnya memang benar pada kelapa yang jatuh itu, saya membatin.
“Ya wes, Mas. Nek sampean capek, sampean bisa istirahat. Kamar wes dipersiapkan Mbak Sutrimen tadi, monggo!” Lanjutnya dalam bahasa Jawa mempersilahkan saya istirahat.
***
Waktu menunjukan pukul 23:30. Saya memutuskan untuk tidur mendahului Pak Gendro dan kedua teman yang lain yang sekitar empat jam yang lalu pamit karena hendak bertamu ke rumah Mas Geger, salah satu umat yang cukup aktif di stasi ini. Dan ketika rasa kantuk semakin menjadi – jadi, saya pun lekas menuju ke tempat tidur. Besok kami harus bangun pagi untuk bersiap kembali ke Surabaya.
Saya tidur dengan lelapnya, membawa semua cerita hari ini, cerita masa lalu serta tidak lupa menitipkan secercah harapan pada gelapnya malam: semoga setelah mendapatkan pengalaman kehidupan umat di stasi ini, saya semakin mendekatkan diri pada Tuhan, semakin sering ke gereja dan semakin aktif pada setiap kegiatan dan pelayanan. Hingga suatu ketika, ke mana lagi kaki membawa tubuh ini, setiap cerita yang pernah didapat mampu memperkaya saudara seiman yang akan dijumpai. Semoga! Amin!!
**
Catatan Kaki
1. http://petruspaulus.blogspot.com/2016/04/stasi-sumberarum.html


Posting Komentar untuk "Cerita Dari Pedalaman Blitar: Tentang Pengalaman Menghidupi dan Menghayati Iman Kristiani di Tengah Berbagai Macam Tantangan dan Persoalan Iman yang Selalu Bergejolak."