Masa kanak - kanak adalah masa paling bahagia yang dialami oleh kebanyakan orang. Karena ketika itu hidup hanyalah tentang bagaimana caranya mengelabui Ibu yang menyuruh kita tidur siang, masa dimana ketakutan terbesar hanya pada ejekan teman karena tidak bisa berenang dan menaklukan bagian terdalam dari sungai dekat kampung.
Sebuah masa dimana kekalahan terbesar adalah hanya ketika teman memasukan karet berkali - kali dalam permainan tembak tepat, dan penantian yang melelahkan hanyalah menunggu angin kencang di bawah langit biru cerah pada bulan juni - agustus. Tau untuk apa? Hanya untuk menerbangkan layang - layang bikinan kakak, tapi mengakunya ke teman - teman adalah bikinan sendiri.
Ketika itu kita kalah, kita curang, kita sesekali malu, kita mengelabui teman dan orang tua, tapi toh kita justru tetap senang dan bahagia, hidup seperti tanpa beban, dan memang tanpa beban dan masalah.
Namun bertahun-tahun telah berlalu. Kita sudah dewasa. Dan tentu, kita tidak lagi berlarian menerbangkan layang-layang dengan ingus yang membentuk angka sebelas di hidung, yang sesekali kita seka dengan kerah baju. Sepotong baju yang kini kita bahkan tak ingat lagi warnanya saat pertama dibeli. Itu adalah baju kesayangan, tak boleh ada seorang pun boleh menyentuhnya, bahkan sang kakak yang berniat mencucinya. Kita begitu nyaman mengenakannya, sering memakainya hampir setiap hari bahkan ketika kotor dan lusuh sekalipun.
Kini, kenyamanan itu tak lagi sama. Kita tak sanggup menahan malu ketika baju mulai dekil, daki tampak membentuk jejeran pulau di kaki, dan kuku yang panjang membentang. Robekan kecil di celana pun segera dijahit seolah tak dibiarkan menjadi aib. Kita begitu peduli pada citra, penampilan, dan penilaian. Dunia orang dewasa menuntut kita untuk tampil rapi, bukan sekadar bersih. Tak ada ruang bagi keluguan atau ketidakpedulian seperti masa bocah dulu.
Image Source : pexels.com
Dan tangan kita sekarang? Ah,tangan kita tak lagi dibalut ratusan gelang karet hasil kemenangan di permainan tembak-tepat dulu . Kala itu gelangan karet memenuhi pergelangan hingga ke lengan, sebuah lencana kejayaan di dunia kecil kita yang pehuh bahagia. Kini tangan ini hanya menyimpan jam digital dan ketegangan. Ia lebih sering sibuk menggenggam ponsel, meremas resah, atau menahan kecewa.
Kita pun tak lagi diejek karena tidak bisa berenang atau karena kalah dalam permainan petak umpet. Dunia sekarang jauh lebih senyap, tapi luka-lukanya lebih dalam. Tak ada ejekan, hanya diam, tapi diam yang mematahkan.
Singkatnya kita hidup di masa dewasa dengan meninggalkan segala kelakuan kita pada masa kecil dulu. Kalau toh sampai sekarang tingkah masa bocah kita masih ada yang kita lakukan, maka itu sudah memiliki makna dan nilai serta tujuan yang berbeda.
Dulu kita mengelabui orang tua saat kita disuruh tidur siang, tapi kita masuk ke kamar dan ketika lengah sedikit kita keluar lewat jendela dan pergi bermain. Namun kini kita memang masih coba mengelabui mereka akan tetapi dengan mengatakan bahwa kita baik - baik saja saat mereka bertanya : " apa kabar nak ? ". Ini kita lakukan agar mereka tidak risau saat kita mengatakan yang sebenarnya. Uh, kebenaran terkadang memang terlalu menyakitkan untuk dibagi, bahkan kepada orang yang kita cintai.
Dan tentang tidur siang itu sendiri? Bisakah engkau membayangkan itu sekarang? Ia menjadi kerinduan yang paling dalam dari setiap insan yang tumbuh dewasa dalam kerasnya dunia dan ketatnya persaingan. Bahkan saat kita masih berniat saja untuk tidur siang, suara Timothy Ronald sudah menggema di dalam kepala : " memangnya loe bayi apa, tidur siang. Kerja sono! ". Padahal mah kita tidur karena capek bekerja dan lelah berharap, terutama berharap akan naiknya gaji, pada datangnya pengakuan, pada jabatan mentereng yang tak kunjung datang.
Dalam lubuk hati kecil yang paling dalam, sesuatu berbisik : "Sudahi penantian mu, ia tak akan datang. Kau bukan keponakannya, bukan temannya, bahkan bukan seseorang yang dianggap ada. Meski kau punya layang-layang ketangguhan, benang kerja keras, dan angin kedisiplinan, barangkali langit itu terlalu penuh untuk kau gapai. Dan kau tahu, langit tak selalu menerima siapapun yang mencoba terbang".
Saat kita mengenang masa kecil, sebuah masa yang bahagia tanpa syarat lalu membandingkannya dengan kehidupan sekarang, sering kali kita terjerembab dalam kesedihan. Dulu, kekalahan tak sekalipun mengurangi tawa. Ejekan tak berujung pada penolakan. Tapi kini, kekalahan membawa cemas, murung, bahkan perasaan tidak berguna. Kita merasa ada sesuatu yang hilang… sesuatu yang dulu membuat hidup terasa ringan, senang dan bahagia. Dan kita baru menyadarinya saat segala hal mulai terasa berat: kegagalan, tekanan, kehilangan, dan kompetisi yang tak pernah berhenti.
Kita pun mulai bertanya: kenapa hidup sekarang tidak sebahagia dulu? Kita mencari jawabannya dalam keadaan, pada orang lain dan pada diri sendiri. Akan tetapi sering kali, yang kita temukan hanyalah kekosongan.
Namun mungkin… mungkin bukan dunia yang berubah terlalu jauh, tapi hati kita yang berjalan terlalu jauh dari tempat ia seharusnya berada.
Paulo Coelho dalam novelnya Sang Alkemis berkata: Dimana hatimu berada, disitu hartamu berada.
Barangkali, kebahagiaan kita yang dulu itu belum hilang. Ia hanya tersesat. Sebab mungkin kita telah salah, yakni menaruh hati pada hal-hal yang tidak pernah kita miliki. Kita menambatkannya pada hasil, pada pencapaian, pada validasi. Maka ketika semua itu tak didapatkan, hati ikut kehilangan arah. Kebahagiaan pun menjauh.
Padahal, jika kita kembali menoleh pada yang sudah kita miliki sekarang: orang tua yang masih menanyakan kabar, sahabat yang mau mendengar tanpa menghakimi, atau pekerjaan yang meski sederhana tapi memberi makan, di sanalah kebahagiaan bisa bersemai. Di situlah akar kekuatan tumbuh, perlahan namun pasti.
Kita terlalu sibuk berlari keluar: bersaing, berlomba, menyaingi semua orang yang bahkan tidak tahu keberadaan kita. Sampai lupa, bahwa yang paling pantas untuk kita kalahkan adalah diri sendiri, yang telah lama lalai mensyukuri.
Santiago si tokoh utama dalam Sang Alkemis itu menjalani perjalanan panjang penuh kerikil untuk menemukan harta karun. Ia ditipu, dikhianati, dikecewakan. Namun ketika akhirnya sampai ke tempat yang ditunjukkan sebagaimana dalam mimpinya, ia tak menemukan apa-apa. Justru, harta itu ternyata berada di tempat yang paling dekat, di balik gereja tua dekat rumahnya, di Andalusia.
Mungkin begitu pula kita. Barangkali, domba kebahagiaan kita itu tidak benar-benar hilang. Ia hanya tersesat. Mungkin ia terjebak dalam hutan persaingan sosial yang tak kita pahami. Mungkin kita telah membawanya terlalu jauh dari kandangnya, sebuah kandang berisi hati yang penuh syukur, dan hidup yang apa adanya.
Maka, untuk membawanya pulang, kita harus kembali menaruh hati pada apa yang kita miliki sekarang. Dengan merawat, menjaga, dan memaksimalkan apa yang sudah ada di tangan, kita akan kembali menemukan kebahagiaan itu. Mungkin bukan kebahagiaan masa kecil yang sama persis, tapi versi barunya yang lebih dewasa, lebih tenang, dan lebih dalam.

sip
BalasHapusThank you🙏
Hapus