Jejak Tuhan Pada Wajah Gadis Misterius di Seberang Jalan

Waktu menunjukan pukul 22.00. Dan sebagaimana biasanya, hiruk pikuk kota Surabaya malam itu perlahan berubah menjadi sepi. Riuh tawa, langkah kaki dan bising suara kendaraan yang kerap menjadi sumber keramaian kota, kini berubah menjadi senyap bak panggung kosong sehabis menampilkan sebuah pertunjukan. Penerangan jalan yang tadinya terang benderang bercampur sinar lampu kendaraan, kini menyisakan cahaya redup hampir temaram. Angin malam pun mulai berbisik malu dan menyusup di sela - sela setiap gedung. Bersiap menyapa dan menegur siapa saja yang tidak segera kembali ke peraduannya.

Dan tepat di tengah senyap yang menggantung itu aku seolah membangkang terhadap aturan alam yang demikian. Langkah kaki hendak membawa tubuh ini ke sebuah warung madura. Alasannya tidak lain karena Kami kehabisan air minum. Dan kehabisan kali ini, akulah yang bertanggung jawab untuk mengisinya kembali, sebab kedua teman kos sudah menunaikan kewajiban mereka pada kehabisan air sebelumnya.

Dengan langkah gontai karena lelah seharian bekerja, aku bergegas menuju warung tempat biasa aku membeli air isi ulang. Uang ditangan kiri sementra tangan kanan menenteng satu buah galon kosong.

Sering kali ketika aku memegang galon atau benda dengan berat, bentuk atau bobot yang hampir sama atau menyerupai satu sama lain, imajinasi membawa diriku keluar dari dunia nyata menuju ruang imajiner yang aku bentuk sendiri dalam pikiran.

Dan kali ini aku membayangkan dengan galon itu, aku siap menghantam siapa saja di depanku. Kebetulan sosok Bima dalam dalam epos Mahabarata entah kenapa sekarang menyelinap begitu saja ke dalam pikiranku dan galon kosong ditangan kananku adalah palu gadanya. Sambil melompat aku berteriak : “ Hiachhh dihachhhh!!”. Memukul angin! Mungkin ketika ada yang melihatku bertingkah demikian pada hampir tengah malam seperti itu, semua mengira aku gila.

Persis ketika aku kembali ke kesadaranku, nampak olehku di sudut seberang jalan, seorang gadis menutup gerbang rumahnya secara perlahan. Matanya melihat ke kiri dan kanan dengan sikap penuh waspada. Lalu ia melangkahkan kakinya dengan sangat hati - hati. Penglihatannya penuh dengan sikap waspada yang tampak seperti seorang yang sedang berjaga - jaga kalau - kalau ada yang tiba - tiba mengganggunya.

Image source:
https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-memegang-bulan-3622517/

Kecurigaan awalku adalah bahwa itu pastilah gadis yang biasa aku lihat selama ini. Tubuhnya gendut, berambut sebahu dan pipinya gembul. Meski selama ini aku hanya memperhatikannya dari kejauhan, tapi masih bisa dengan jelas aku menggambarkannya demikian. Kedua kakinya kecil mulai dari ujung jari sampai beberapa senti di bawah betis. Baru mulai betis ke atas semuanya besar dan terisi penuh lemak. Antara kepala dan badan tidak dipisahkan oleh ukuran leher yang ideal. Baju yang sering dikenakannya adalah daster. Dan kali ini ia mengenakan daster abu - abu bermotif bunga dan bintang - bintang kecil. Ukurannya barangkali adalah XXL dengan rincian yang sesuai dengan ukuran tubuhnya.

Ya kalau urusan menggambarkan, menilai bahkan menghakimi orang, aku memang tak bisa diragukan. Ini contohnya. Bahkan hanya dengan melihat dan mendengar dari kejauhan, aku sudah bisa memberinya label apapun yang aku suka. Hanya terkadang ketika aku yang diperlakukan begitu oleh orang lain, dengan pongah aku bertanya : Apa gunanya akal jika menilai hanya dari yang dilihat dan didengar? Ah, betapa egois diri ini!!

Tapi yang membuatku tercenung adalah keanehan yang melekat pada sosoknya. Tak pernah ia menampakkan diri pada hari - hari biasa seolah hanya memilih pagi yang malas atau siang yang lengang di hari libur. Lantas itu lalu membuatnya tampak seperti bayang - bayang yang hanya bersahabat dengan cahaya. Tapi malam ini, mungkin untuk kali pertama ia hadir di sela - sela gelap yang menggigil, pada jam yang nyaris menyentuh tengah malam, tatkala dunia menutup matanya dan mimpi belum juga sepenuhnya terjaga.  

Padahal antara rumahnya dengan tempat aku tinggal tidak lebih dari 200 meter. Keanehan itu diperkuat oleh kenyataan bahwa Omah pemilik warung kelontong yang lokasinya tepat berada dihadapan rumah gadis itu, aku melihatnya hampir setiap hari.

Tapi mungkin, memang akulah yang tak cukup peka. Mungkin gadis itu berjalan di antara waktu yang tak kusadari, menyelinap di sela-sela detik yang tak sempat kupeluk dengan mata.

Dan barangkali karena keanehan serta kemisteriusannya itu, sempat terbesit niatku untuk menyeretnya masuk ke dalam ruang imajinasiku pada malam itu dan menjadikannya antagonis bayangan dalam cerita karanganku sendiri. Kuayunkan galon dan…brakkkk!!! Aku terbang seperti Gatotkaca dan menghantamnya dari atas.

Namun tiba-tiba, hati kecilku berkicau lirih—seperti angin yang menyentuh daun-daun rapuh di sudut kesadaran. Ia menggugahku dalam bisikan yang tak bisa ku abaikan:

"Dia itu manusia, sama sepertimu—punya hati, punya perasaan, punya ruang luka dan keindahan yang tak boleh kau usik hanya demi imajinasimu. Ia bukan boneka dalam panggung khayalmu. Tak layak kau perlakukan sebagai bayangan liar, bahkan hanya dalam pikiran."

Sebelum pikiranku menjalar seperti akar liar—menjalar ke tempat-tempat yang tak sepantasnya—aku memilih menarik langkah, menjauh dari pusaran bayangan yang nyaris kulahirkan sendiri.

Maka langkah kaki kuayunkan, melanjutkan perjalanan, meninggalkan desir hasrat yang hampir mengalahkan suara nurani.

Dan semakin dekat aku ke jalan besar, dugaanku pun ternyata benar. Dia adalah gadis misterius yang aku maksudkan itu.

Ia masih melangkah seperti sebelumnya—penuh kehati-hatian, seakan setiap pijakan harus ia timbang dengan rasa. Kepalanya terus menoleh ke kiri dan ke kanan, gerakannya kini lebih sering, lebih waspada; seperti rusa kecil di tengah rimba malam yang sunyi namun rawan bahaya.

Geraknya tak berubah, masih setia pada kehati-hatian yang semula, seolah tubuhnya menyimpan peta bahaya yang hanya ia yang tahu cara membacanya.

Aku bisa memahaminya. Kota besar, ketika malam mulai menggulung cahaya, menyimpan kemungkinan-kemungkinan kelam yang bisa menimpa siapa saja—perempuan, lelaki, atau bahkan siapa pun yang terlalu percaya bahwa malam hanyalah soal sepi dan lampu jalan.

Aku tidak tahu apakah pada saat itu dia melihatku atau tidak, sehingga aku tidak menduga ia mencurigai aku. Tapi toh walaupun ia mencurigai aku, tak mengapa. Itu sudah biasa.

Dan semakin dekat ke jalan besar, langkahnya kini semakin cepat. Nampaknya ia sudah melihatku. Maka akupun membuang muka ke arah lain dan melambatkan langkah, membiarkannya berjalan di depan.

Dalam hati aku mulai menduga: ia mencurigai aku. Ah tak apa, wajah sangar seperti diriku ini memang sudah biasa dicurigai sebagai yang bukan - bukan. Padahal wajah mah boleh sangar bak penjahat, tapi hati tetap titipan malaikat. Gumamku dengan bangga dan percaya diri.

Usut demi usut, ternyata langkah yang hati - hati dengan mata yang selalu mengawasi tadi hendak membawa tubuhnya yang tak bisa aku tebak berapa kilogram beratnya itu menuju ke warung madura, ke tempat yang sama dengan tempat tujuanku.

***

Warung madura itu buka 24 jam. Dan pada jam seperti itu, biasanya memang sudah sepi pembeli. Barang - barang dagangan memenuhi seluruh etalase toko. Di kiri, kanan, juga belakang penuh dengan barang - barang. Bagian depan hanya menyisakan celah untuk dua orang pembeli. Kalau orang bertubuh tinggi bisa - bisa kepala akan menatap berbagai jenis cemilan yang sengaja digantung di bagian depan toko. Kalau sedang banyak pembeli, maka orang biasanya antri sampai hampir ke bahu jalan karena memang warung itu tidak lebih 3 meter dari jalan besar.

Aku sebenarnya ingin masuk ke dalam celah yang tersedia karena memang sebenarnya bisa diisi dua orang pembeli. Namun, karena gadis misterius itu duluan dan tentu tidak menyisakan tempat, akhirnya aku memutuskan mengantri dari belakang.

Sambil mengantri, aku memperhatikan belanjaan gadis itu. Gula satu kilo, kopi, peralatan mandi dan beberapa bungkus mie instan. Barang-barang sederhana, namun entah mengapa terasa mengandung cerita.

Memperhatikannya dari dekat seperti ini sebenarnya, sudah membuat pikiran yang tadinya mendominasi hati dalam menilai dan memberi label si gadis, kini tak bisa berbuat apa - apa.

Sekarang pikiranku tak lagi mampu mendikte perasaanku sebagaimana selama ini, dari kejauhan, ia hanyalah bayang samar yang kusematkan label: gendut, pendek, gembul, dan—ah, sewenang-wenang aku menjadikannya sekadar objek penilaian. Kini, di dekatnya, hatiku memberontak atas semua itu.

Ia tak lagi sekadar “tubuh” di antara tubuh-tubuh lain yang lalu-lalang di jalanan, yang berkeliaran di hutan, yang berenang bebas di lautan atau yang mengepak - ngepakan sayap di angkasa. Ia seolah menjadi ladang tempat batinku diuji—apa yang oleh para filsuf disebut sebagai medan etik: tempat di mana hati dan pikiran saling mengadili.

Hingga terjadilah pergulatan hati dahsyat ketika akhirnya wajah dan pandangan si gadis mengarah keluar tatkala ia mencoba meraih beberapa jajanan yang ada di gantungan di warung itu.

Setelahnya ia lalu memberikan uang ke penjaga warung, mengambil belanjaan dan bersiap pulang. Namun sekejap, ia hendak memutar balik dan bergumam seraya mengernyit sambil menghitung kembali uang kembalian. Rupanya ada yang keliru. Namun kemudian dengan sopan ia memberitahu penjaga warung, lalu tersenyum kecil setelah kesalahpahaman itu diluruskan. Uang kembaliannya pas.

Pada saat itu pula dengan tanpa sebab, ingin rasanya diri ini melemparkan senyum kepadanya. Sebuah senyum yang dulu sempat dikatakan manis oleh seorang gadis cantik jelita yang sempat aku taksir. Belakangan barulah aku tahu bahwa ternyata itu adalah fitnah. Sebab ketika kunyatakan cinta padanya, ia menolak. 

Ah,..rupanya bukan saja serigala berbulu domba yang siap meluluhlantakan nasibku secara kolektif dalam masyarakat. Secara pribadi, aku juga dibuat hancur lebur di dalam percintaan dengan sandiwara serupa meski tak sama : pujian berbalut hinaan. Ya, ya... Antara pejabat dan rakyatnya hanya dibedakan garis tipis setebal tisu. Maka jika pun posisinya bergantian, tetap akan sama saja, tidak akan melahirkan perubahan. Ah, ya... Pandai benar orang jaman sekarang. Aku bergumam lagi.

Niat memberi senyum kepada gadis misterius ini pun lalu aku urungkan. Bukan karena takut ia tidak membalas senyumku, tapi karena aku sudah mulai menyadari satu hal : dari wajahnya aku menyadari akan tanda tanya yang ada dalam benakku selama ini yaitu tentang kenapa aku hanya melihatnya pada hari libur tak lain karena ia malu dan ia ingin menyembunyikan sebagian dirinya dari dunia yang kejam menilai tubuh, bentuk, dan rupa.

Ia lalu menjadikan siang yang lengang sebagai sahabat dan malam yang sunyi sebagai kekasih, yakni kekasih dan sahabat yang bisa menerima dia apa adanya sebagai manusia.

Ah..Sapaan sekaligus teguran malam yang mencekam seperti ini lalu mengingatkanku akan sebuah sabda : Barangsiapa memandang seorang perempuan dengan nafsu birahi, orang itu sudah berzinah dengan wanita itu dalam hatinya.

Tidak! Kata hatiku. Aku tidak memandangnya dengan nafsu birahi karena pandangan seperti itu selalu dipicu oleh nilai - nilai keindahan : wajah yang cantik, tubuh yang seksi, rambut yang klimis, kulit mulus dan bening, serta berbagai pemicu lainnya yang sesuai selera dari yang memandang.

Tapi toh dosaku sama saja. Aku telah memberikan penggambaran yang sewenang -wenang atas dirinya. Bahkan ketika aku belum sempat menatap matanya dan memandang wajahnya dari dekat, aku sudah sewenang - wenang dalam memperlakukannya dengan dalil kebebasan, lupa bahwa kebebasan pun selalu ada batasnya. Begitu kata hatiku yang satunya seolah tak membiarkanku lolos dari segala kesombongan pikiranku selama ini.

Dan lagi, hatiku yang lainnya menimpali: Bahkan di dalam medan dosa sekalipun, mereka seolah tak punya tempat.  Tapi lantas kenapa mereka tetap dibenci, disingkirkan, diasingkan dan terkadang ditolak dalam pergaulan? Apakah hanya karena tubuh mereka tidak ideal, rambut mereka tidak sama dengan yang lain, bentuk muka mereka berbeda lalu mereka ditertawakan bahkan saat mereka tidak membuat orang seharusnya tertawa?

Ataukah karena mereka tidak mampu membeli produk canggih yang bisa menyaring segala kekurangan dan keterbatasan mereka? Tapi jika yang terkahir masuk sebagai alasan, bukankah itu adalah sebuah tipu muslhiat yang cukup hebat? Dan hati kecil mereka barangkali tak sanggup melakukan itu.

Dan oh, satu lagi! Bukankah mereka berhak bahagia? Berhak mendapatkan apa yang mereka inginkan? berhak dicintai? Berhak mendapatkan tempat dihati seseorang?

Ah,...Seandainya cinta seorang laki - laki itu tidak didorong oleh nafsu birahi dan alasan reproduksi dengan visi -misi melahirkan bibit unggul, maka gadis seperti dia barangkali sudah memiliki satu tempat entah pada hati siapa.

Dan jika saja semua makhluk tercipta sesuai dengan keinginan dan kemauan manusia, maka betapa semuanya akan merasakan hal yang sama di dunia ini. Tak terkecuali gadis misterius yang telah menampakan wajah di depanku ini.

Ah Tuhan, begitu hebat pergejolakan batin malam ini...Selama ini wajahMu selalu kucari ya Tuhan, wajahmu kucari.

Dan malam ini pula Engkau menghadirkan wajah si gadis misterius yang padanya Engaku meninggalkan jejakMu. Jejak yang selalu aku rindukan dengan segala pertanyaan dan persoalan yang menyertainya serta dilema dalam menjawab : siapakah sesamaku manusia?

Maka malam ini juga ya Tuhan, pada wajah dan dalam tatapan si gadis misterius ini, sesamaku manusia adalah semua yang terpinggirkan dalam masyarakat, semua yang ditolak dan diasingkan dalam pergaulan, semua yang dibenci bahkan bukan atas kesalahan mereka yakni mereka yang buruk rupa, terlahir cacat, orang miskin, janda dan yatim piatu.


Pada malam ini, pada wajah gadis yang mungkin entah sudah ditolak untuk kesekian kali dalam hidupnya hanya karena keterbatassnnya ini : pada wajahnya kebebasan dan kesombonganku selama ini mengungkap aibnya sendiri.

Ya...Teringat pula aku kata seorang filsuf : " Kebebasanku yang sewenang - wenang mengeja aibnya sendiri dalam mata yang memandangku".

Dan dalam sekejap mata aku ingat, melalui sebuah kajian seorang Pastor pernah mengenalkan Emanuel Levinas. Dan itu adalah kalimatnya yang sangat memikatku.

                                    ***

Setelah gadis itu pergi dengan barang belanjaannya, aku pun masuk dan menyerahkan galon kosong di tanganku serta memberikan uang seharga satu galon air isi ulang.

Di bawah langit malam yang setengah malu-malu memamerkan bintang, aku berjalan pulang menuju ke tempat peraduanku menyusuri jalan berpaving. Membawa galon air di pundak, dan pergulatan hati yang tadinya berat tapi telah diringankan melalui perjumpaan dengan si gadis yang selama ini misterius itu.

Sesampainya di gang menuju kos, aku menoleh. Mencari sosoknya. Ingin tahu apakah ia masih tampak. Tapi ia telah hilang, seolah menyatu dengan kesunyian malam.

Dan mungkin memang begitu ia adanya: datang sebentar untuk menguji nurani, lalu pergi bahkan sebelum aku sempat benar-benar meminta maaf. Ah maafkan aku, maafkan!

***

Posting Komentar untuk "Jejak Tuhan Pada Wajah Gadis Misterius di Seberang Jalan"